Berita Terbaru

Trend Minggu Ini

Advertisement

Iklan 300x250

Sekjen PBB Sebut Islamofobia Picu Terorisme

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menganggap sentimen Islamofobia yang digambarkan dengan sejumlah gerakan anti-imigran dan dilakukan oleh sejumlah negara belakangan ini justru kian memicu munculnya aksi terorisme.

"Ekspresi, kebijakan, dan ujaran kebencian berbau Islamofobia yang terjadi di beberapa bagian dunia menjadi salah satu hal yang memicu terorisme," ungkap Guterres dalam konferensi pers bersama Raja Saudi Arabia, Salman, di Riyadh seperti dikutip AFP, Senin (12/2).

Komentar ini disampaikan Guterres kepada wartawan usai bertemu Raja Salman, Putra Mahkota sekaligus Menteri Dalam Negeri Saudi, Mohammed bin Nayef dan wakilnya, Mohammed bin Salman.

Menurut Guterres, sentimen Islamofobia yang muncul di beberapa negara besar ini tidak akan menghindarkan dunia dari ancaman terorisme. Ia berujar, sentimen negatif ini justru menjadi suatu dukungan kelompok teroris seperti ISIS untuk memperkuat propagandanya.

Tanggapan tersebut dilontarkan Guterres menyusul meningkatnya sentimen Islamofobia dan gerakan populis di dunia, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat beberapa waktu ini.

Salah satu kasus terjadi di perancis. Politisi partai sayap kanan Perancis, Front National (FN), Marine Le Pen, gencar meningkatkan gerakan populisme dan anti-imigran di negaranya itu yang berlangsung sejak gelombang pengungsi menerjang Eropa pada 2015 silam.

Desember lalu, Le Pen, menyerukan penolakan akses pendidikan bagi anak-anak imigran ilegal di berbagai sekolah umum. Seruan ini, tuturnya, merupakan salah satu cara membatasi pelayanan negara demi membendung arus imigran ilegal ke negara itu.

Politisi anti-imigran ini bahkan menjadi salah satu kandidat kuat presiden Perancis dalam pemilu yang akan berlangsung April mendatang. Sejumlah jajak pendapat bahkan menempatkannya di puncak perburuan jabatan nomor satu di negara tersebut.

Dalam kampanye, Le Pen bersumpah akan menempatkan Perancis sebagai prioritas. Ia bahkan menyerang isu "imigrasi massal," globalisasi dan "fundamentalisme Islam" dalam kampanyenya.

Di Amerika Serikat, negara yang selama ini dianggap mengagung-agungkan kebebasan dan perlindungan HAM ini juga turut "diserang" sentimen xenofobia dan gerakan anti-Islam sejak kemenangan Donald Trump dalam pemilu 8 November lalu.

Langkah Islamofobia semakin tergambar usai Trump menandatangani perintah eksekutif berisikan aturan penangguhan penerimaan pengungsi masuk ke negaranya selama 120 hari.

Aturan tersebut juga melarang sementara warga asal tujuh negara mayoritas muslim seperti Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman untuk masuk ke Amerika. Ketujuh negara itu dianggap Trump sebagai negara yang memiliki potensi terorisme tinggi.

Meski aturan ini telah dijegal oleh pengadilan banding, Trump berkeras ingin terus menerapkan aturan diskriminatif itu dengan tujuan keamanan nasional.

Menurut sejumlah pengamat, aturan imigrasi ini hanya akan meningkatkan sentimen anti-Amerika, khususnya pada negara yang masuk dalam daftar larangan imigrasi Trump. Hal ini justru semakin membahayakan keamanan AS.

Tidak ada komentar:

Berikan Tanggapan Anda